Awas!, 90 Persen Berita Di Media Sosial Tidak Memiliki Fakta Jurnalistik
Blogger lesbian dari Damaskus ternyata seorang laki-laki Amerika di Skotlandia. Perwira yang terbunuh, tampil di televisi, dan ternyata masih hidup. Aktivis Bahrain memblokir pelayanan medisnya sendiri. Serta penggerak reformasi Arab, Mohammed Bouazizi, ternyata tidak dianiaya sebelum membakar diri. Bukan hanya rezim, tapi juga para pemberontak memanipulasi media sosial.
Mengapa orang begitu mudah membiarkan dirinya tertipu dalam reformasi Arab?
Peran media sosial memang dipuji-puji. Tapi informasi yang ditawarkan Facebook dan Twitter sebagian besar tidak benar.
Sudah umum diketahui bahwa para diktatur Arab memanfaatkan media sosial untuk menyatakan pendiriannya. Untuk itu mereka tidak hanya memblokir situs web atau menahan penulis blog.
Konon terjadi beberapa kejadian mengerikan. Orang-orang Gaddafi kabarnya mencuri jenazah dari rumah sakit, untuk kemudian diklaim sebagai korban pemboman NATO.
Propaganda
Dalam bukunya 'The internet delusion', Evgeny Mozorov menuduh politisi barat bersikap terlalu naif. Menurut Morozov orang tidak perlu heran jika menerima pesan 'permohonan bantuan warga sipil Suriah' penuh propaganda.
Rezim sangat lihai menggunakan berbagai metoda. Selama anda bisa menerima email perusahaan farmasi atau asuransi berisi permintaan untuk memuji produk-produk mereka, anda pasti juga menerima email rezim Iran atau Suriah, karena mereka menggunakan biro marketing yang sama.
Tapi juga para penentang rezim suka memanipulasi kejadian yang sebenarnya sehingga menguntungkan mereka. "Ketertutupan dinas rahasia dan manipulasi sebuah rezim tentu saja lebih berperan - atau lebih besar pengaruhnya - ketimbang para pemberontak," kata pakar Arab Corné Hanssen, "tapi", lanjutnya "orang tetap perlu bersikap kritis."
Siapa bunuh siapa?
Kedua belah pihak berusaha keras menunjukkan lawannya berbohong. Menurut kelompok-kelompok yang pro Assad, 'tentara pembelot yang sama' memberi dua kesaksian berbeda atas nama pemberontak Suriah.
Kadangkala pendukung dan penentang menggunakan gambar yang sama untuk menyatakan yang sebaliknya. Walaupun gambar-gambar itu asli, interpretasinya tidak jelas.
Stasiun televisi Arab Al-Jazeera dan situs web Yaman memasang foto jenazah yang sama untuk berita yang berbeda. Satu berita tentang korban di Suriah, dan berita lain tentang seorang penyair yang tewas di Yaman. Apakah sudah diketahui siapa yang dibunuh siapa di Jisr al-Shoughour?
Bagaimana bisa dijelaskan bahwa semua orang langsung meragukan kesaksian seorang teroris di televisi negara, dan lebih percaya rekaman video yang berisi kesaksian tentara pembelot?
Menurut Niels ten Oever dari Free Press Unlimited orang cenderung percaya tulisan penulis blog atau Twitter.
Profesor media Geert Lovink berkata:
"Orang sering berpikir media sosial setara dengan jurnalistik. Tapi sebagian besar, setidaknya 90 persen, tidak bisa dinilai sebagai jurnalistik."
Baik lawan jahat
Dalam pemberontakan terbaru di Mesir, Suriah, Tunisia, Bahrain dan Libia, pembagian peran jelas: para pemberontak adalah 'orang-orang baik' dan rezim adalah 'pihak yang jahat'.
Walaupun para pemberontak secara moral benar - memang, di setiap negara itu berbeda, kata pakar Arab Hanssen- mereka belum memenangkan hati warga. Kebanyakan warga tidak mau mengabil risiko dengan memaparkan semua pengalaman mereka di internet atau mencari informasi di internet.
Jika tersedia sambungan internet, banyak orang takut menceritakan apa yang sedang terjadi. "Secara teknis dan sosial, kebebasan berekspresi di internet bisa dikatakan terbatas," kata Ten Oever. "Jati diri pengguna internet, apa yang dilakukan di internet dan kapan, semuanya dicatat."
Risikonya memang nyata. Contohnya, setelah pemberontakan Bahrain ditaklukkan, penulis blog yang aktif, dikenai hukuman penjara panjang. Mereka yang tetap menggunakan internet tahu risko yang diambil. Namun, mereka tidak apa-apa karena merasa bisa menyampaikan pesan: mereka mendukung atau menentang revolusi.
Karena media independen tidak punya atau sedikit sekali akses ke kawasan bersangkutan, informasi datang dari tukang propaganda negara, atau dari pemberontak.
Pilot di Tripoli
Beberapa contoh lain: rekaman video 'orang polisi yang memukuli demonstran' ternyata rekaman pasukan garda republik Irak sewaktu Perang Teluk pertama.
Radio Nederland menyelidiki berita dalam media internasional tentang aksi bunuh diri seorang pilot di Tripoli. Pilot itu ternyata masih hidup. (http://www.rnw.nl/arabic/article/328327 bahasa Arab). Korban perkosaan Tunisia tidak pernah diperkosa.
Kesan keterbukaan semakin bahaya, karena warga dan keputusan politik dipengaruhi apa yang disampaikan media. "Juga para pembuat kebijakan mengikuti siaran CNN," kata Morozov.
Niels ten Oever berkata:
"Terlalu berbahaya bagi wartawan untuk mengambil alih begitu saja berita, tanpa memeriksa dulu fakta-fakta, seperti dalam kasus 'blogger lesbian'. Dengan mengambil alih berita, media memberikan semacam status kepada penulis blog dan apa yang ditulisnya."
Mengapa orang begitu mudah membiarkan dirinya tertipu dalam reformasi Arab?
Peran media sosial memang dipuji-puji. Tapi informasi yang ditawarkan Facebook dan Twitter sebagian besar tidak benar.
Sudah umum diketahui bahwa para diktatur Arab memanfaatkan media sosial untuk menyatakan pendiriannya. Untuk itu mereka tidak hanya memblokir situs web atau menahan penulis blog.
Konon terjadi beberapa kejadian mengerikan. Orang-orang Gaddafi kabarnya mencuri jenazah dari rumah sakit, untuk kemudian diklaim sebagai korban pemboman NATO.
Propaganda
Dalam bukunya 'The internet delusion', Evgeny Mozorov menuduh politisi barat bersikap terlalu naif. Menurut Morozov orang tidak perlu heran jika menerima pesan 'permohonan bantuan warga sipil Suriah' penuh propaganda.
Rezim sangat lihai menggunakan berbagai metoda. Selama anda bisa menerima email perusahaan farmasi atau asuransi berisi permintaan untuk memuji produk-produk mereka, anda pasti juga menerima email rezim Iran atau Suriah, karena mereka menggunakan biro marketing yang sama.
Tapi juga para penentang rezim suka memanipulasi kejadian yang sebenarnya sehingga menguntungkan mereka. "Ketertutupan dinas rahasia dan manipulasi sebuah rezim tentu saja lebih berperan - atau lebih besar pengaruhnya - ketimbang para pemberontak," kata pakar Arab Corné Hanssen, "tapi", lanjutnya "orang tetap perlu bersikap kritis."
Siapa bunuh siapa?
Kedua belah pihak berusaha keras menunjukkan lawannya berbohong. Menurut kelompok-kelompok yang pro Assad, 'tentara pembelot yang sama' memberi dua kesaksian berbeda atas nama pemberontak Suriah.
Kadangkala pendukung dan penentang menggunakan gambar yang sama untuk menyatakan yang sebaliknya. Walaupun gambar-gambar itu asli, interpretasinya tidak jelas.
Stasiun televisi Arab Al-Jazeera dan situs web Yaman memasang foto jenazah yang sama untuk berita yang berbeda. Satu berita tentang korban di Suriah, dan berita lain tentang seorang penyair yang tewas di Yaman. Apakah sudah diketahui siapa yang dibunuh siapa di Jisr al-Shoughour?
Bagaimana bisa dijelaskan bahwa semua orang langsung meragukan kesaksian seorang teroris di televisi negara, dan lebih percaya rekaman video yang berisi kesaksian tentara pembelot?
Menurut Niels ten Oever dari Free Press Unlimited orang cenderung percaya tulisan penulis blog atau Twitter.
Profesor media Geert Lovink berkata:
"Orang sering berpikir media sosial setara dengan jurnalistik. Tapi sebagian besar, setidaknya 90 persen, tidak bisa dinilai sebagai jurnalistik."
Baik lawan jahat
Dalam pemberontakan terbaru di Mesir, Suriah, Tunisia, Bahrain dan Libia, pembagian peran jelas: para pemberontak adalah 'orang-orang baik' dan rezim adalah 'pihak yang jahat'.
Walaupun para pemberontak secara moral benar - memang, di setiap negara itu berbeda, kata pakar Arab Hanssen- mereka belum memenangkan hati warga. Kebanyakan warga tidak mau mengabil risiko dengan memaparkan semua pengalaman mereka di internet atau mencari informasi di internet.
Jika tersedia sambungan internet, banyak orang takut menceritakan apa yang sedang terjadi. "Secara teknis dan sosial, kebebasan berekspresi di internet bisa dikatakan terbatas," kata Ten Oever. "Jati diri pengguna internet, apa yang dilakukan di internet dan kapan, semuanya dicatat."
Risikonya memang nyata. Contohnya, setelah pemberontakan Bahrain ditaklukkan, penulis blog yang aktif, dikenai hukuman penjara panjang. Mereka yang tetap menggunakan internet tahu risko yang diambil. Namun, mereka tidak apa-apa karena merasa bisa menyampaikan pesan: mereka mendukung atau menentang revolusi.
Karena media independen tidak punya atau sedikit sekali akses ke kawasan bersangkutan, informasi datang dari tukang propaganda negara, atau dari pemberontak.
Pilot di Tripoli
Beberapa contoh lain: rekaman video 'orang polisi yang memukuli demonstran' ternyata rekaman pasukan garda republik Irak sewaktu Perang Teluk pertama.
Radio Nederland menyelidiki berita dalam media internasional tentang aksi bunuh diri seorang pilot di Tripoli. Pilot itu ternyata masih hidup. (http://www.rnw.nl/arabic/article/328327 bahasa Arab). Korban perkosaan Tunisia tidak pernah diperkosa.
Kesan keterbukaan semakin bahaya, karena warga dan keputusan politik dipengaruhi apa yang disampaikan media. "Juga para pembuat kebijakan mengikuti siaran CNN," kata Morozov.
Niels ten Oever berkata:
"Terlalu berbahaya bagi wartawan untuk mengambil alih begitu saja berita, tanpa memeriksa dulu fakta-fakta, seperti dalam kasus 'blogger lesbian'. Dengan mengambil alih berita, media memberikan semacam status kepada penulis blog dan apa yang ditulisnya."
Manipulasi Facebook dan Twitter
Sumber:http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/manipulasi-facebook-dan-twitter